Kritik, Norma dan Utopia: Telaah Dasar Teori Kritis Jerman

By | 07/06/2010

Artikel filsafat tentang Kritik, Norma dan Utopia: Telaah Dasar Teori Kritis Jerman
Pengantar
Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada. Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak” dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security.

Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi. Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya.

Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia. Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada, tetap dilihat sebuah proses di mana manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas, komunikasi dan teknologi modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia. Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia. Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisis untuk bisa mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia peroleh.

Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada. Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya – mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia. Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena modernitas yang menjanjikan tapi juga kalau tidak hati-hati –menjerumuskan. Meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis.
ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory): Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci
Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.

Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya.

Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisis Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis.
Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan pemikiran Teori Kritis? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud. Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia. Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif.

Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant. Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif.

Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis.
Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin Jay, pp. 42). Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.

Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik.

Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis. Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis. Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern.

Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik, sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik.

Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks.

Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisis Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia.

Namun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai “kesadaran palsu”. Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx.

Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual –dalam tataran mikro– dan masyarakat –dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).

Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.

Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika. Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi.

Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE). Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM).

Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya. Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.
Wacana II: Norma dan Transformasi Kritik
Dalam wacana selanjutnya, Seyla Benhabib mencoba mencatat tingkat radikalisasi dan transformasi kritik Hegel dan Marx yang dilakukan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Dalam kaitan dengan kritik rasionalitas, Teori Kritis jelas telah mengambil sikap dalam empat karakter utama, yaitu Teori Kritis selalu bersifat historis. Perkembangan Teori Kritis selalu mengacu pada situasi masyarakat yang konkret dan berpijak dan tidak berjarak dari realitas, Teori Kritis disusun dalam keterlibatan aktif dan historis dari para pemikirnya, Teori Kritis tersusun dalam proses kecurigaan kirtis terhadap masyarakat aktual, yang bermaksud untuk menelanjangi manipulasi-manipulasi ideologi –ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat.

Teori Kritis, terutama ditujukan untuk menjadi teori yang bertujuan praktis. Teori Kritis mengambil sikap untuk tidak netral. Seyla Benhabib pada bagian ini lebih mau mendiskusikan posisi Teori Kritis dalam seluruh konteks transformasi kritik Hegelian dan Marxian dalam perspektif Teori Kritis. Keterbatasan dan kelemahan metodologis epistemologi Hegel dan Karl Marx memperlihatkan perlunya penjernihan makna kritik dan norma sosial. Kelemahan kedua filsuf itu terletak pada ketidakmampuan kedua filsuf tersebut membumikan proses kritik imanen dan pencerahan yang sebetulnya menjadi cita-cita teori yang mereka buat.

Dengan demikian perlu ada eksplorasi transformasi proyek kritik dengan menggunakan konsep kritik imanen, kritik defetishsasi dan kritik sebagai diagnosa krisis. Pola dominan yang dipunyai Teori Kritis dalam pembahasan ini adalah bahwa kritik Hegelian dan Marxian ditransformasikan menjadi kritik atas rasio instrumental. Inti kritik rasio instrumental Horkheimer, menurut Seyla Benhabib, adalah bahwa telah terjadi penjerumusan akal budi objektif dengan mengemukakan akal budi yang semata-mata instrumental. Usaha manusia untuk semakin dikuasai oleh rasionalitas justru membuat manusia masuk pada kehancuran diri (self-destruction). Untuk itu, manusia mengusahakan akal budi yang murni subjektif. Akal budi subjektif adalah akal budi yang mengarah pada manfaat. Akal budi subjektif, dalam pandangan Seyla Benhabib, selalu mengandaikan dan melanggengkan self-preservation[xiii], di mana akal dimanfaatkan untuk menjadi alat perhitungan kemungkinan-kemungkinan tercapainya tujuan subjek[xiv] (Horkheimer, 1964). Lawan akal budi subjektif (instrumental) adalah akal budi objektif.
Seyla Benhabib melihat bahwa Horkheimer berpendapat bahwa akal budi objektif mempunyai wewenang terhadap manusia. Rasio objektif tidak netral. Dengan demikian, Horkheimer menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi moral dan reflektivitas moralitas yang tangguh dalam seluruh proses pemilihan tindakan sosial yang ada. Akal budi instrumentalis pada dasarnya netral karena rasio instrumental bisa digunakan sebagai tujuan di luar dirinya sendiri[xv] (Sindhunata, 1983). Pada proses selanjutnya, manusia tidak lagi percaya pada konsep nilai dalam rasio objektif. Akal budi diformalitaskan. Formalisasi akal budi memudahkan terjadi instrumentalisasi akal budi manusia.
Hal ini terjadi ketika akal manusia dimasukkan dalam proses kapitalisasi kolektif dalam perspektif ekonomi politik Karl Marx. Pergeseran demi pergeseran mengubah manusia dalam kungkungan ideologi di mana manusia tidak bisa lagi kritis dengan keadaan sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri. Masalahnya, Seyla Benhabib mencatat adanya ambivalensi posisi Teori Kritis dalam kritik rasio instrumentalis. Di satu pihak, Teori Kritis memang menangkap maksud pemikiran Weberian dalam proses rasionalisasi tapi di lain pihak Teori Kritis juga menerapkan utopia rasionalisasi kemasyarakatan dan kebudayaan. Berkaitan dengan konteks di atas, Seyla Benhabib melihat bahwa konsep self-preservation mengimplikasikan cara berelasi, keperluan dan keinginan diri sebagai sesuatu yang tidak berubah dan ahistoris. Meskipun demikian konsep self-preservation tetap memperhatikan kondisi sosial, sejarah.
Otonomi manusia mangandaikan tindakan reflektif. Tindakan reflektif ini akan dinilai oleh prinsip etis sosial yang terkait dengan latar belakang kolektif yang ada. Menurut Seyla Benhabib, Horkheimer mempertahankan wacana etika formalisme Kantian. Pada dasarnya, Teori Kritis mengembangkan etika material atas nilai. Horkheimer mencoba memperlihatkan dan mengeksplorasi seperangkat norma yang seharusnya memberikan makna kehidupan manusia apa adanya. Maka dapat dikatakan bahwa dalam seluruh wacana II ini dapat diperlihatkan bahwa terjadi kompleksitas baru dalam pandangan Horkheimer, Adorno, Marcuse dan lainnya. Tetap terjadi ketegangan antara filsafat yang praksis dengan pemikiran yang memperlihatkan momen emansipasi tidak terbatas lagi dalam aktivitas konkret individu tapi juga dalam tataran nilai yang mempengaruhi rasio dan sistem nilai orang atau individu.
Dalam Negative Dialectics, Adorno mencoba membuka untuk melihat secara jelas posisi premis kesejarahan dalam seluruh pengalaman manusia individual. Harus ada posisi sosial yang memberikan pengaruh pada pemikiran identitas. Kritik filsafat anthropologi Teori Kritis tidak bisa dilihat lagi sebagai filsafat kesejarahan. Konsep otonomi tidak bisa dilihat sebagai kategori aktualisasi diri. Otonomi seharusnya dilihat dalam perspektif anthropologi filosofis atau filsafat sejarah. Yang jelas problem otonomi manusia harus dilihat dalam dua tahap yang jelas, yaitu tahapan bahwa otonomi melampaui soal preservasi diri. Wacana III: Transformasi Kritik dan Tranformasi Etika Komunikatif Dalam pandangan Seyla Benhabib, di sana-sini terjadi kebuntuan dalam Teori Kritis dalam memahami proses kritik sosial. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan manusia tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong praksis perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi oleh kesadaran rasional.
Seyla Benhabib melihat bahwa Habermas sudah meneliti bahwa Hegel menjadi pelopor tradisi ilmu sosial kritis untuk memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja” tapi juga merupakan proses “tindakan komunikatif”. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam aktivitas menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas. Seyla Benhabib juga melihat bahwa Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham ilmu kritis juga menampakkan kebuntuan dengan kepentingan emansipatorisnya. Sesungguhnya teori ini ingin membantu manusia untuk semakin otonom dan dewasa.
Otonomi kolektif berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Konsensus bisa dicapai dalam masyarakat yang reflektif dan berhasil melakukan komunikasi secara memuaskan. Tentu saja paradigma komunikasi meliputi klaim kesahihan yang terdiri dari klaim kebenaran, klaim ketepatan, klaim otentisitas dan klaim komprehensibilitas (Habermas, 1983). Dalam wacana ini, Seyla Benhabib berpendapat bahwa Habermas memberikan tawaran wacana komunikatif untuk “menambal” kelemahan Teori Kritis dalam menghadapi masalah modernitas. Teori Kritis, meski demikian, memperlihatkan rasio yang dikondisikan secara kontekstual. Teori Kritis tetap memperlihatkan pencerahan tidak bisa diatasi dengan meninggalkan kompleksitas sosial modern tapi dengan pencerahan lebih lanjut. Menurut Seyla Benhabib, Habermas tetap konsisten mengatakan bahwa negasi tetap atas rasio yang berpusat pada subjek dengan rasio yang dipahami sebagai tindakan komunikatif.
Rasio komunikatif merupakan sikap mengobjektifkan yang membuat subjek pengetahuan memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunilai luar tidak lagi terprevilegikan. Hubungan ambivalensi dari subjek kepada dirinya dihancurkan oleh intersubjektivitas yang memungkinkan. Rasio tidak mengasimilasikan diri pada kekuasaan tapi lebih langsung atau tidak langsung berasimilasi pada klaim kebenaran, ketepatan normatif, otentisitas dan keselarasan estetik. Seyla Benhabib melihat bahwa titik tolak Habermas atas rasionalisasi selalu menghasilkan tiga segi. Segi pertama adalah reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru yang muncul, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsensus. Segi kedua adalah integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi baru, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim. Segi ketiga adalah sosialisasi yang menjamin bahwa dalam situasi baru, perolehan kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin.
Refleksi: Wacana Alternatif Setelah membaca buku Seyla Benhabib ini ada beberapa konsiderasi reflektif yang mungkin perlu diungkapkan sebagai usaha proses pendalaman isi reflektif buku yang dibaca. Pertama, salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses menuju otonomi dan kedewasaan. Dalam hal ini Teori Kritis berhutang besar pada “patron sosiologi” Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang sama juga, Teori Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Teori Kritis melalui Habermas dan Seyla Benhabib mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi modernitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan kemakmuran ekonomis. Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain yang perlu dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa berkembang.
Dalam hal ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi masyarakat. Seyla Benhabib tidak melihat secara komprehensif potensi krisis yang dialami oleh masyarakat. Seyla Benhabib secara jelas mencoba mengikuti Profesornya, yaitu Habermas, bahwa ancaman krisis yang paling mencolok adalah krisis sosio-kultural. Meminjam istilah Habermas, krisis legitimasi dimulai dengan krisis motivasi. Dalam pengalaman empiris, Seyla Benhabib mengikuti Habermas menunjukkan bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial memang habis. Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah ? Kiranya justru sekarang utopia bergeser pada arah komunikasi sosial. Teori Kritis mencoba untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada masyarakat kapitalisme lanjut. Masihkah perjuangan sosial harus diteruskan dan disuarakan ? Tetapkah energi pemikiran kritis tetap aktual bagi masyarakat sekarang ?

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arato, T.W. 1976, The Essential Frankfurt School Reader, Oxford, Basil Blackwell
Benhabib, Seyla, 1986, CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA: A Study of The Foundation of
Critical Theory, New York, Columbia University Press
Bertens, K., 1983, Filsafat Barat Abad XX: Inggris dan Jerman, Jakarta,
Gramedia.
Habermas, J, 1979, Communication and The Evolution of Society, London, Heinemann
Hardiman, Budi, F., 2004, KRITIK IDEOLOGI: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik
_________________, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat,
Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius
Horkheimer, M., 1973, The Dialetical of Enlightment, London, Allen Lane
Jay, M., 1973, The Dialectical Imagination, London, Heinemann
Kolakowski, L., 1978, Main Currents of Marxism: Its Origin, Growth and
Dissolution, Vol III, Oxford, Clarendon
Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Kanisius
Marcuse, 1964, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced
Industrial Society, London, Routledge
Sindhunata, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta, Gramedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.