Pemikiran Pendidikan Islam

By | 22/09/2010

Pemikiran Pendidikan Islam dalam Perspektif Al Ghazali dan Ibnu Maskawaih.
A. Pendahuluan
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan transformasi ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin) sangat penting di kalangan kaum muslimin. Manusia pertama yang memperoleh tranformasi ilmu langsung dari Allah ialah Nabi Adam As.

Selanjutnya jaman terus berubah, pengetahuan pun berkembang dan manusia dengan potensi akalnya menemukan hal-hal yang baru, dan atau mengembangkan ilmu-ilmu yang ada sebelumnya. Dan di antara kaum muslimin yang banyak andil dalam pengembangan pemikiran Islam adalah Al Ghazali dan Ibnu Maskawaih.
Ada satu pujian yang menarik yang lahir dari Islamolog Jerman kepada Imam Ghazali, katanya, “Kalau ada nabi lagi setelah Muhammad, maka al-Ghazalilah orangnya.”

Layaknya beralasan, bila Islamolog sekaliber Annemarie mengatakan demikian karena berangkat dari kekagumannya pada pemikiran al-Ghazali secara konprehenshif. Betapa tidak, al-Ghazali adalah manusia fenomenal yang hidup dalam gelimang multiaspek dan dinamika kehidupan, yang saat itu puncak peradaban Islam sedang “mencakar” ketinggian langit.

Dalam kekuasaan Islam yang merengkuh hampir seluruh untaian benua, muncul kecemerlangan pemikiran — yang pada zamannya hingga saat ini — seluruh mata hampir tak pernah lepas mencermati tokoh ini. Pusat-pusat kajian keislaman kampus-kampus Eropa hampir tidak dapat melepaskan kajiannya tentang al-Ghazali. Al-Ghazali punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf, tetapi juga tidak bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu.

Saya yakin bahwa studi tentang al-Ghazali tidak akan bisa dibahas dalam seminggu atau satu bulan karena al-Ghazali adalah seorang tokoh yang multidimensi, bahkan pemikirannya menjalar pada supra pemikiran yang lebih luas. Begitu juga tentang Ibnu Maskawaih.

Dalam makalah singkat ini, kita akan menyusuri pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih seputar sistem pendidikan Islam. Saya mengharapkan akan lahir kontribusi pemikiran mengapresiasi dua sosok pemikir yang karyanya membanjiri “ladang-ladang pengetahuan” dan menyentuh seluruh aspek keilmuan ini.
B. Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (lahir 1058 di Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran), wafat 1111, Thus) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
1. Riwayat Hidup
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah bersamaan dengan tahun 1058 Masehi di bandat Thus, Khurasan (Iran). Beliau berkun`yah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i. Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
2. Pendidikan
Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Beliau telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
3. Karya-karyanya
Sebagaimana disebutkan bahwa Al Ghazali merupakan kontributor terbesar pada masanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu, di antaranya :
a. Bidang Teologi
1) Al-Munqidh min adh-Dhalal
2) Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3) Al-Risalah al-Qudsiyyah
4) Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din
5) Mizan al-Amal
6) Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
b. Tasawuf
1) Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanya yang terkenal.
2) Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
3) Kimiya as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
c. Filsafat
1) Maqasid al-Falasifah
2) Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
d. Fiqih
1) Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
e. Logika
1) Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
2) al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
3) Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)
4. Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan
Sejak kecil, Imam Al Ghazali telah bergelut dengan dunia pendidikan. Maka tidak diragukan lagi dalam hal yang satu ini, beliau menorehkan pemikiran-pemikiran yang senantiasa menjadi inspirasi bagi generasi sesudahnya.
Di antara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari buku karangannya, yaitu pertama, Fatihatul Kitab menerangkan berbagai pendapat tentang pendidikan, pengajaran dan latihan mental, kedua, Ayyuhal Walad yang melukiskan garis-garis besar kebijakan pendidikan yang ia pandang cocok dengan pendidikan remaja muslim, dan ketiga, Ihya ‘Ulumuddin yang di dalamnya dikaji masalah-masalah pendidikan, fikih, akhlak dan tasawwuf. Dari karangan-karangannya ini terlihat jelas bagaimana filsafat pendidikan yang ditorehkan oleh Al Ghazali. Hakikat pendidikan menurut Al Ghazali merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat.
Secara sistematis, pemikirannya memiliki corak tersendiri. Ia secara jelas dan tuntas mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Menurut Dr. H. Samsul Nizar, M.A., totalitas pandangannya meliputi hakikat tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, materi, dan metode pendidikan.
a. Hakikat Ilmu dan Amal Menurut Al Ghazali
Intisari ilmu dalam pandangan Al Ghazali ialah mengetahui apa taat dan ibadah itu. Menurutnya, taat dan ibadah adalah menuruti segala perintah dan larangan pembuat syariat, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat baginya. Setelah membahas ilmu dan seluk beluknya pasal terakhir tentang ilmu beliam membuat pasal tantang akal dan kemuliannya.
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah. Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.
Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?. Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat ataupun binasa. Ia mengutip hadis Nabi saw. “Orang yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah orang berilmu yang belum diberi kesempatan oleh Allah untuk memanfaatkan (mengamalkan) ilmunya”.Dan hadis yang berbunyi :
……………………………………….
Al Ghazali berkata kepada muridnya, “Duhai anakku, ilmu tanpa amal adalah kegilaan. Sementara amal tanpa ilmu tak ada artinya. Keserasian antara amal dan ilmu dengan ketentuan syari’at sangat beliau tekankan. Bagi penulis, Al Ghazali adalah sufi yang sebenarnya dan beliau mengkritik kaum sufi yang jauh dari syari’at. Tasawuf Al – Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori – teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan.
b. Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah SWT, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung“. (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak.
Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang ‘menganggurkannya’ akan jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul karimah.
Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu :
(1) tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah;
(2) tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah;
(3) tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
c. Pendidik
Pekerjaan mengajar dalam pandangan al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya : “Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah membukakan hati seorang ‘alim dengan ilmu yang dengan itu pula seorang ‘alim menampilkan identitasnya.
Syarat pokok seorang guru, bagi Al Ghazali adalah berilmu, tetapi tidak semua yang berilmu pantas menjadi guru. Tetapi ia harus memenuhi kriteria-kriteria yang sangat ketat.
Menurut Al Ghazali, kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi oleh guru (pendidik) meliputi delapan hal:

  • Pertama, menyayangi para peserta didiknya, bahkan memperlakukan mereka seperti perlakuan dan kasih sayang guru kepada anaknya sendiri.
  • Kedua, guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. sehingga ia tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda jaasa.
  • Ketiga, guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada para peserta didiknya.
  • Keempat, termasuk ke dalam profesionalisme guru, adalah mencegah peserta didik jatuh terjerembab ke dalam akhlak tercela melalui cara sepersuasif mungkin dan melalui cara penuh kasing sayang, tidak dengan cara mencemooh dan kasar.
  • Kelima, kepakaran guru dalam spesialisasi tertentu tidak menyebabkannya memandang remeh disiplin keilmuan lainnya, semisal guru yang pakar dalam ilmu bahasa, tidak menganggap remeh ilmu fikih.
  • Keenam, guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didiknya.
  • Ketujuh, terhadap peserta didik yang berkemampuan rendah, guru menyampaikan materi yang jelas, konkrit dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dalam mencernanya.
  • Kedelapan, guru mau mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah menyatunya ucapan dan tindakan.

d. Peserta Didik
Peserta didik memiliki sepuluh poin kewajiban, atau wadlifah menurut al Ghazali:

  • Pertama, memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada Allah.
  • Kedua, peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
  • Ketiga, tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya.
  • Keempat, bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
  • Kelima, penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu tersebut.
  • Keenam, penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
  • Ketujuh, penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya.
  • Kedelapan, penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia.
  • Kesembilan, tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya.
  • Kesepuluh, penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan.

e. Kurikulum/Materi Pendidikan
Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun. Dalam hal ini Al Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu : Pertama, Ilmu Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu Ghair Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim.
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu:
(1) Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri, dan sebagainya. (2) Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari kitabullah.
Sedangkan ditinjau dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu : ilmu yang terpuji (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Ilmu yang wajib diajarkan sejak dini menurut Al Ghazali, di antaranya :
1. shalat, puasa, zakat dan haji;
2. Aqidah; dan
3. Ilmu-ilmu yang dapat menjauhkan dari kcelakaan dan meningkatkan derajat.
e. Metode Pendidikan / pengajaran
Filosof besar ini menandaskan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi saw., “Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal“, al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti “memberi daging kepada anak kecil”.
Dalam kitabnya Ayyuhal Walad, Al Ghazali dalam metodenya memberikan pemahaman kepada muridnya beliau sering mengutip kisah-kisah dan contoh-contoh. Misalnya kutipan berikut :
”Wahai anakku, diriwayatkan Lukman Al Hakim berwasiat kepada anaknya: ’Wahai anakku, janganlah ayam jago lebih pintar darimu. Di waktu sahur ia telah berkokok, sementara engkau masih terlelap tidur.”
Kisah-kisah yang beliau sampaikan lalu di antaranya beliau buktikan dengan sabda Nabi saw.
Al Ghazali, dalam mendidik anak lebih menekankan aspek afektif dan psikomotoriknya dibandingkan dengan aspek kognitif. Hal ini karena jika anak kecil sudah terbiasa untuk berbuat sesuatu yang positif, masa remaja atau dewasanya lebih mudah untuk berkepribadian yang saleh, dan secara otomatis, pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah diperolehnya. Tarbiyyah Ruhiyah disampaikan olehnya yaitu dengan memerintahkan muridnya untuk shalat tahajjud, berdo’a dan dzikir.
f. Komprehensivitas pendidikan
Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar “perkawinan” multiaspek disiplin ilmu, seperti kalam, tasawuf, falsafah, dan fikih. Kehidupannya penuh dinamika yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan spiritual. Akan tetapi dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah pengajaran sufistik yang menekankan aspek akhlakul karimah sebagai mainstream dari Ihya, karya monumentalnya.
Bila kini ahli pendidikan menyebutnya sebagai kurikulum berbasis komptensi, al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa perpaduan yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual, yang berpadu pada tasawuf, falsafah dan fikih, satu keniscayaan bagi pelaku dan peserta didik saat ini.
C. Ibnu Maskawaih
Mungkin jarang sekali mendengar nama Ibnu Maskawaih, bahkan penulis, -dengan segala keterbatasan – kesulitan untuk menemukan rujukan yang memadai yang mengulas tuntas tetangnya, wabilkhusus mengenai pemikiran pendidikannya. Karena ia bukan ahli pendidikan lainnya halnya Al Ghazali yang banyak berkecimpung dengan dunia pendidik baik teorits maupun praktis.
1. Riwayat Hidup Ibnu Maskawaih
Dalam Ensiklopedi Islam dikatakan, Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah dan filsafat. Disamping itu, ia juga seorang moralis, penyair serta ahli kimia.Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yakub bin Maskawaih. Ia dilahirkan pada 330 Hijrah (941 M)] di Kota Ray (Teheran sekarang).
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amirul Umara) dengan gelar Mu’izz Al Daulah pada tahun 945 M. Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibnu Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Setelah kematian Mu’izz, beliau telah dilantik menjadi Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang kepada Ibnu Maskawaih untuk menambah ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuan Islam dan Yunani.
Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah. Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau dalam mencari ilmu pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya. Ibnu Maskawaih telah berhasil membina dan membuktikan ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
Sejalan dengan segala sumber ilmu yang beliau pelajari, banyak teori telah dihasilkan Ibnu Maskawaih dan tidak terbatas dalam satu fokus dan falsafah sahaja. Beliau telah menulis berbagai kitab yang membicarakan berbagai persoalan. Antara yang terkenal Kitab al-Fuaz al-Saghir yang menumpukan kepada perbicaraan berkaitan metafizik tentang Allah, kerasulan dan jiwa.
2. Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Riwayat detail mengenai riwayat pendidikan Ibn Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun dalam beberap literatur di dapat ketemukan oleh penulis adalah sebagai berikut : Ia belajar sejarah, terutama Tarikh At Thabary, kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al Qaghi (350 H/960 M). Ibn Al Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Maskawaih mengkaji alkimia bersama abu At Thayyib ar Razi, seorang ahli alkimia.
3. Karya-karyanya
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis sejarah di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Al Fauzul Ashghar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika).
b. Al Fauzul Akbar, tentang etika.
c. Thabaratun Nafs, tentang etika.
d. Takhzibul Akhlak, tentang etika.
e. Tartibus Sa’adah, tentang etika dan politik.
f. Tajaribul Umam, tentang sejarah.
g. Al Jam’i, tentang ketabiban.
h. Al Adwiyyah, tentang obat-obatan.
i. Al Asyribah, tentang minuman.
j. Al Mustaufi, berisi kumpulan syair-syair pilihan.
k. Maqalat finnafsi wal aql, tentang jiwa dan akal.
l. Jawizan Khard (akal abadi), tentang pemerintahan dan hukum.
Sebenarnya masih banyak karya-karya dari Maskawaih yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini.
4. Pemikiran Pendidikan Ibnu Maskawaih
a. Pendidikan Akhlak
Berbeda dengan Al Ghazali, yang secara ekspisit menuangkan bagaimana seharusnya pendidikan berlangsung. Maskawaih sebagai disebutkan ia sejatinya adalah filosof muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Dari sanalah kita dapat menemukan bagaimana pemikiran filsafat moralnya yang berimplikasi pada pemikiran pendidikan.
Filsafat moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga Maskawaih memulai risalah besarnya itu dengan akhlak, Takhzibul Akhlak dengan terlebih dahulu membahas tentang An Nafs. Baru pada bagian kedua ia membahas tentang Al Khulq. Ia mendefinisikan Al Khulq sebagai berikut :
Artinya, ”khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya”.
Bandingkan dengan definisi akhlak menurut al-Ghazali, sebagai berikut:
Selanjutnya ia mengatakan bahwa keadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak lahir, dan dapat pula merupakan hasil latihan membiasakan diri. Berkenaan dengan pengertian Khuluq yang dikemukakan Maskawaih tersebut, dapat disimpulkan bahwa akhlak peserta didik dapat dilatih ke arah yang lebih baik dengan jalan latihan-latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan (akhlak) yang dapat spontan melahirkan perbuatan yang baik.
Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syariat, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun.
Dengan memakai aturan pribadi moral, Maskawaih membagi kebijaksanaan menjadi tujuh : ketajaman intelegensi, kesigapan akal, kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan, ketepatan dalam membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali; sebelas bagian dalam keberanian, yaitu : kemurah hatian, kebersamaan, ketinggian pengharapan, keteguhan, kesejukan, keterarahan, keberanian, kesabaran, kerendahdirian, semangat dan kepengampunan; dua belas dalam kesederhanaan, yaitu : malu, ramah, benar, damai, menahan diri, sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan kebebasan; dan sembilan belas bagian dalam keadilan, yaitu : persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian pada Tuhan, meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenak ketidakadilan dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang jahat dan penipu.
Abdurrahman Badawy, dalam menganalisis kitab Tahzibul Akhlak, beliau mengatakan : Sejauh ini Maskawaih adalah Platonis, tetapi sejak halaman 29, ia menjadi Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan.Menurut Ibnu Maskawaih, baik buruknya manusia tergantung kemauan manusia itu sendiri.
b. Hubungan Murid dengan Guru
Dalam hal ini, Maskawaih menyatakan pendapat Aristoteles, dengan cinta murid kepada gurunya, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih pemurah, karena guru mengajar ruh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagian sejati. Guru adalah ”bapak ruhani dan orang yang dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan ilahiah, karena ia membawanya kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi”.
c. Psikilogi Pendidikan Maskawaih
Maskawaih berpendapat tentang pentingnya pengawasan akan perkembangan anak serta menanamkan kebiasaan yang baik guna mencapai kebaikan anak. Penanaman akhlak dan budi sangat dipentingkan oleh Maskawaih dalam pendidikan anak. Ia menjelaskan bahwa malu yang kelihatan pada anak merupakan langkah yang pertama menuju ke arah dan berpikir. Apabila anda melihat seorang anak dan kelihatan ia merasa malu sambil menundukkan kepalanya ke tanah dan tidak menentang anda, ”ini merupakan suatu tanda kecerdikan …. dan jiwa anak ini untuk dididik, patut diberi perhatian terhadapnya tidak boleh ia dibiarkan dan disia-siakan”.Ia mengatakan bahwa kejiwaan anak-anak adalah matarantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal.
Pada jiwa anak-anak berakhirlah ufuk binatang dan mulailah ufuk manusia. Jiwa anak-anak berkembang dari tingkat sederhana kepada tingkat yang lebih tinggi, semula tanpa ukiran, kemudian berkembanglah padanya kekuatan perasaan nikmat dan sakit, kemudian timbul pula kekuatan yang lebih kuat, yaitu kekuatan syahwat, yang sering disebut dengan nafsu kebinatangan. Dalam perkembangan berikutnya, timbul pula kekuatan sabu’iyah atau ghadhabiyah. Akhirnya dalam perkembangan berikutnya lahir pula kekuatan berpikir, atau jiwa cerdas, yang ditandai dengan timbulnya rasa malu pada anak-anak. Pada tahapan ini, anak-anak dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saat inilah paling tepat pendidikan keutamaan mulai ditanamkan pada anak-anak.
Maskawaih memperhatikan diri sendiri dan mendidiknya dengan mengenal hakikat, sebab-sebab adanya tujuan dan kekuatan. Mengetahui bagaimana cara mencapai kesempurnaan atau mengetahui apa yang menghambatnya untuk sampai kepada kesempurnaan itu.
Menurut Ibnu Maskawaih, setiap hal tumbuh dan berkembang melalui fase-fase dan berevolusi. Teori evolusi ini lebih sekedar apa yang dikemukakan oleh Darwin, karena dalam teori evolusi Maskawaih adalah teori mengenai peradaban dan evolusi manusia.
Pandangan mengenai kewujudan manusia yang telah dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih ini banyak menarik perhatian sarjana Barat seperti Charles Darwin yang akhirnya telah memanipulasi teori Ibnu Maskawaih dengan mendakwa manusia berasal dari kera sebagaimana yang diterbitkan dalam bukunya Origins of Species mengenai kejadian asal usul manusia.
Teori Darwin ini adalah hasil pengekploitasian idea asal Ibnu Maskawaih yang menerangkan tentang evolusi manusia dari kehidupan babarik (kasar) kepada bertamadun yaitu dari kehidupan yang serba ringkas dan kurang maju kepada perkembangan kehidupan sosiologi yang kompleks lalu membentuk peradaban. Ini bukti pendustaan terbesar sarjana Barat itu terhadap hasil kerja Ibnu Maskawaih.
Orang awam menganggap Darwin sebagai pelopor teori evolusi yang digunakan oleh para sarjana dalam bidang antropologi, sosiologi dan sains evolusi manusia. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa pencetus teori evolusi yang tulen telah diasaskan oleh Ibnu Maskawaih.
Menurut Ibnu Maskawaih, kecerdikan manusia tidaklah mengatasi kepintaran yang dimiliki oleh kera. Namun manusia lebih baik dari seeekor kera karena ia dikaruniai akal fikiran yang menjadi tonggak utama yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan pengalaman yang dilalui oleh manusia maka mereka mampu berfikir secara rasional dalam membuat keputusan.Evolusi Manusia, dalam pandangan Maskawaih, tidak terbatas secara fisik, tetapi berkembang pula tingkat kecerdasannya, cara berpikirnya bertambah maju sehingga menjadi bijaksana bahkan sampai mendekati derajat para malaikat.
D. Titik Singgung Pemikiran Pendidikan Antara Al Ghazali dan Ibnu Maskawaih
Penanaman Akhlak dan budi sangat dipentingkan Ibnu Maskawaih dan Al Ghazali dalam pendidikan anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Azyumardi Azra sebagai berikut : ”Kalau Al Ghazali telah merintis jalan tasawuf untuk memperbaiki atau dengan kata lain telah berusaha menciptakan ilmu pengetahuan akhlak praktis, maka sebelumnya Ibnu Maskawaih dengan falsafatnya telah berusaha untuk menciptakan filsafat etika teoritis dalam arti mengupas etika secara analisa ilmu pengetahuan.”
Dari makalah yang telah disampaikan, kaitannya dengan konsep pendidikan moral al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih ada beberapa persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Persamaannya : Sama-sama menekankan pendidikan moral pada anak sejak dini.
Kedua-duanya berpandangan bahwa akhlak dapat dirubah oleh sebab itu penting adanya institusi pendidikan akhlak. Kedua-duanya sama-sama mempunyai pandangan bahwa di dalam diri manusia itu ada sifat kebinatangan, oleh sebab itu perlu adanya latihan untuk mengendalikannya.
Walaupun sama-sama mementingkan pendidikan akhlak, namun terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu : Al-Ghazali merintis jalan tasawuf untuk memperbaiki atau dengan kata lain telah berusaha menciptakan ilmu pengetahuan akhlak praktis, maka Ibnu Maskawaih dengan falsafatnya telah berusaha untuk menciptakan filsafat etika teoritis dalam arti mengupas etika secara analisa ilmu pengetahuan. Filsafat Pendidikan Akhlak Al-Ghazali berangkat dari hati, sedangkan Maskawaih berangkat dari akal.
Penanaman akhlak imam al-Ghazali melalui jalan/ institusi tasawwauf praktis (amaliah praktis), sedangkan Maskawaih menempuh jalan teoritis praktis, tidak menekankan melalui jalan tasawwuf. Menurut al-Ghazali baik dan buruk ditentukan oleh syari’ah, sedangkan menurut Maskawaih akal manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dan yang lebih penting lagi dari pemikiran pendidikan keduanya adalah aspek suri tauladan dari seorang guru / ustadz / mursyid.
E. Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas, penulis menemukan kajian filsafat pemikiran pendidikan dari seorang Al Ghazali yang konfrehensip. Ia telah begitu tuntas membahas baik dari segi epistemologi, ontologi dan aksiologi, secara teoritis maupun praktis. Unsur-unsur pokok kependidikan yang sedikitnya terdiri dari murid, guru, dan materi serta metode telah dipaparkan oleh keduanya. Sementara Ibnu Maskawaih telah memberikan andil terutama dalam segi teori-teori yang berhubungan dengan akhlak dan psikologi perkembangan.
F. Penutup
Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, dengan segala keterbatasan tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kepada kawan-kawan untuk sharing dalam masalah ini. Wallahu ’a’lam bish showab.
Index:
[1]Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Q.S. Al Baqoroh: 31)
[2] Bahruddin, M.P.d, Sasaran Pendidikan Menurut Imam Al Ghazali (Koran Pikiran Rakyat : Edisi Senin, 14 April 2003).
[3] www.wikipedia.com
[4] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 34
[5] Sembodo Ardi Widodo, M.Ag, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hlm. 183.
[6] Samsul Nazar, Ibid., hlm. 87.
[7] Ibid.
[8] Al Ghazali, Ayyuhal Walad ; terj. Gazi Saloom (Jakarta: IIman, 2003), hlm. 11.
[9] Sebagai diungkapkan oleh Nurkholis Madjid dalam bukunya Kaki langit Peradaban Islam, bahwa dalam kitab Qisthasul Mustaqiem, Al Ghazali melakukan usaha pendekatan masalah-masalah keagamaan dengan menggunakan logika formal, yang kelak menjadi sasaran kritik Ibn Taimiyah.
[10] Al Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin (Beirut: Darul Fikr, 1993), hlm. 27, lihat pula Al Ghazali, Ayyuhal Walad ; terj. Gazi Saloom (Jakarta: IIman, 2003), hlm. 5.
[11] Dalam riwayat Ad Darimy berbunyi :
…………………………………………………………………….[11]
[12] Ibid. Ayyuhal walad, hlm. 5
[13] lihat Ihya hlm. 27 dan Ayyuhal walad , hlm. 11.
[14] Lihat : Al-Ghazali, “Pilar-pilar Ruhani”, h. 17-20 dalam www.insist.com
[15] Samsul Nizar, ibid., hlm. 87
[16] lihat Ayyuhal Walad, hlm 17.
[17] Muhammad Jawad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam ; terj. Dr. Mahmud Arif (Jogya: Tiara Wacana, 2002), hlm 131-132.
[18]. ibid, hlm. 124-128.
[19] Samsul Nizar, op. cit, hlm. 90
[20] Drs. Muhaimin, M.A dan Drs. Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 213.
[21] Adian Husaini, Jakarta, 10 Juni 2005/hidayatullah.com
[22] Al Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, hlm. 20
[23] Al Ghazali, ibid., hlm 11.
[24] Drs. Muhaimin, M.A dan Drs. Abdul Mujib, ibid., hlm. 134
[25] Ibid., hlm. 10
[26] PR, Senin, 14 April 2003
[27] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, hlm 89.
[28] Demikian terlulis dalam ensiklopedi Islam, tetapi dalam buku Para Filosof Muslim ditulis Abu Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Yakub bin Maskawaih. Selanjutnya dalam buku itu disebutkan, bahwa belum dapat dipastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri atau dia itu putra (ibn) Miskawaih.
[29] Mengenai tahun kelahirannya, -sebagai disebutkan oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A.- para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M. Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Margoliouth menyebutkan tahun 330 H/932 M. M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
[30] Lihat K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi (Bandung: Mizan, 1993), hlm 92-93.
[31] islamhadhari.net
[32] Ibid., hal. 94. lihat pula M.M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 84.
[33] Ibid., hal. 92.
[34] Maskawaih menguraikan bahwa jiwa (nafs) manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut :
a. An Nafsul Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
b. An Nafsus Sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
c. An Nafsun Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
[35] Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlak (CD: Maktabah Syamilah), juz I hlm 10.
[36] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Maktabah Syamilah, 2007), juz 2, hal. 253
[37] Azhar Bashir, op. cit, hlm 101.
[38] Ibid., hlm 15-19. M.
[39] .M. Syarif, Ibid.,hlm 91
[40] Dewan Redaksi, Ibid.
[41] M. Syarif, Ibid., hlm 94
[42] Dr. Asma, hlm 63 dalam Axyumardi Azra, esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 84.
[43] Azhar Basyir, Ibid., hlm. 104.
[44] Axyumardi Azra, Ibid., hlm 85.
[45] islamhadhari.net
[46] Drs. Sudarsono, S.H., Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm.90.
[47] Azra, op.cit, hlm. 84.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.